Minggu, 18 Maret 2012

Nenek Dalam Ingatan

Tidak terasa kini umurku hendak menginjak usia 25. Banyak hal telah terlewati, meski belum mengukir sebuah prasasti di seperempat abad dari kehidupan ini. Malam ini, meski diriku tidak sedang bertahlil untuk mendiang neneku, tapi aku akan menceritakan mendiang beliau terhadap malaikat.

Teringat bagaimana kerasnya didikan nenek, membuat aku merasa hidup di belahan dunia yang paling liberal saat ini. Padahal ketika aku kecil dan hidup dengan nenek, hidup waktu itu penuh dengan aturan dan etika. Aturan yang paling haram untuk ditinggalkan adalah shalat lima waktu. Di tempat kedua yang haram ditinggalkan adalah mengaji yang waktunya selalu bergandengan dengan waktu shalat. Selain itu masih banyak aturan seperti membantu mengerjakan pekerjaan rumah, dan etika-etika kehidupan lainnya.

Kasih sayang nenek pada diriku mungkin lebih besar dari pada kasih sayangnya kepada cucu-cucu lainnya. Aku tinggal dengan nenek karena bapak dan ibuku bercerai ketika aku berusia lima tahun. Ibu yang saat itu mengadu nasib ke Jakarta setelah perceraiannya, dan bapak yang menikah lagi, membuat aku terlantar dan hidup dengan seorang nenek yang sudah keronta. Tapi bagi nenek, kehadiranku ternyata bukan merupakan sebuah beban baginya, ia justru ingin menjadikan cucu laki-laki dari anak laki-lakinya yang paling kurang beruntung, menjadi seseorang manusia. Keinginan itu sering terlontar ketika kita berdua hendak tidur.

Meskipun kasih sayang nenek begitu besar, tapi jika suatu kesalahan saya lakukan, kasih sayang itu akan berubah menjadi hukuman yang tidak ada amnesti. Pernah seharian saya dikurung di kamar mandi tanpa dikasih makan karena meninggalkan mengaji. Ya, nenek lebih menekankan aspek keagamaan pada diriku dari pada aspek formal lainnya seperti sekolah, tapi beliau tidak menyepelekannya.

Kasih sayang nenek yang begitu besar, lebih terasa kini ketika beliau telah tiada dan aku beranjak besar dan telah mampu menafsirkan kasih sayang secara lebih luas.

Aku diminta oleh ibuku setelah kepulangannya dari Jakarta ketika aku masuk SLTP. Pada waktu itu aku merasa senang karena dapat hidup bersama ibu, tapi aku tak pernah merasakan kesedihan nenek yang terputus harapannya akan aku. Ya, di lingkungan sekitar kampung ibu, masyarakatnya sangat amburadul, sehingga aku yang masih belia terseret masuk dalam pergaulan yang sangat buruk dan mempengaruhi kehidupanku kini.

Sering aku mendengar dari cerita uwa, bibi dan sanak saudara lain yang mengatakan bahwa  nenek sering menangis ketika mendengar para santri yang sedang menghafal atau menalar kitab Imriti (salah-satu kitab nahwu kelas menengah). Maklum ketika aku meninggalkan nenek, aku telah menghafal setengah dari kitab tersebut. Pada waktu itu juga aku sedang menjadi bahan perbincangan di antara keluargaku dalam hal kecepatan dan kemampuanku dalam hal mengaji.

Nenek meninggal ketika aku kelas dua SLTP.

Malam ini aku kembali terngiang akan amanat-amanat yang ia kemukakan akan diriku menjelang hembusan nafas terkhirnya beberapa tahun silam. Amanat-amanatnya tak lain adalah agar aku selalu berpegang pada agama dalam menjalani kehidupan dunia. Malam ini juga aku mengenang sorot matanya yang tanpa gangguan di usianya yang memasuki kepala delapan. Setengah hari dari penglihatannya ia habiskan untuk membaca al-Quran. Mulut dan hatinya tak pernah berhenti berdzikir. Iya, nenek juga selalu dalam keadaan memiliki wudhu seumur hidupnya.

Dialah yang mengenalkanku pada Allah melalui Tizan. Dialah yang mengenalkanku pada al-Quran melalui ejaan Hijaiyah. Dialah yang mengajariku tentang ibadah melalui Safinah. Dia juga lah yang mengajari aku tentang adab dan etika melalui Sunnah.

Mengenangmu seperti menemukan arah hidup di belantara tipu muslihat dunia. Maafkan aku jika tidak tumbuh seperti harapan nenek. Tenanglah di sana nenek.

Ila Hadorotin Nabiyyil Mustofa Rosulullah Sollolohu Alaihi Wassalam, Khususon Ila Ruhi Hj. Banasiyah binti H. Kholil. Alfatihah...  

0 komentar:

Posting Komentar