Sabtu, 22 Juni 2013

Merasa Kerdil

Lama sekali rasanya tidak menyapa ruang penumpahan isi pikir dan isi hati ini. Padatnya pekerjaan lapangan maupun pekerjaan tulisan, hanya meyisakan lelah di ruang yang tak lagi ada matahari. Ruang pikirku hanya teraplikasikan dalam keseharian, ini akan menjadi sejarah setelah tergantikan hari berikutnya (meski seringnya tanpa apresiasi dan atefak).

Ya, perjalanan ini unik, kadang merasa diri kita menjadi semakin matang dan lebih sering menjadikan diri kita semakin kerdil. Teringat suatu hari pada saat interview di salah satu NGO Internasional, mereka meminta saya untuk menggambarkan diri pribadi saya, dengan sangat mudah saya mampu menggambarkan pribadi pengkhayal dengan daya khayalnya. Namun setahun berselang sejak saat itu, kembali saya diminta untuk menggambarkan pribadi oleh NGO di mana saya sekarang bekerja; dan saya sangat kesusahan.

Malam ini saya mencoba mencari alasan kenapa bisa terjadi seperti itu. Lama tidak menemukan jawaban, semua spekulasi hanya meningalkan ketidakpuasan.

Apakah karena dulu saya selalu berpikir sistematis dengan pendekatan egois yang hanya melihat dari sisi pandang dan khayal yang ada pada diri sendiri? “Tidak! Dulu juga saya melihat aspek lain yang ada di luar saya”. Apakah dulu saya bekerja untuk membuat rencana dan saat ini saya mengerjakan rencana? Huh...terus mengalir pertanyaan yang memperbandingkan dulu dan kini.

Merencanakan sesuatu yang besar, mengubah cara pandang komunitas, menjadi aktor di panggung sosial, adalah rutinitas sepanjang malam. Pada saat giliranya matahari terbit, terlalu lelah untuk implementasi ide sepanjang malam tadi. Begitulah kehidupanku di tahun-tahun lalu.

Sekembalinya dari perantauan dan kembali ke rumah dan keluarga, kini aku enggan untuk berbicara meski mereka meminta. Mereka berbicara peluang, menunjukan kedigdayaan, memamerkan peran, dan hal-hal semu lainya yang dulu sangat ingin digapai.

Di hari kedua keberadaanku di rumah, bapakku bercerita kalau ada tuan tanah yang mempersilahkan tanahnya untuk digarap tanpa sewa. Bapakku bercerita sambil mengasah mulut cangkul, terlihat dari parasnya ada harapan dari lahan yang tak seberapa luas. Adikku yang paling kecil memamerkan ayam piaraannya yang berjumlah tidak lebih dari sepuluh ekor, “Nanti kalo sudah besar, akan dijual untuk beli sepeda baru dan pasta gigi manis” begitu tuturnya.

Ibuku dengan wajah yang memerah sibuk membenahi perapian kayu bakar utnuk menanak nasi, “Jadi agak malas masak, gasnya udah beberapa minggu regulatornya rusak” tuturnya sedikit mengeluh.

Bapakku pamit berangkat ke kebun garapannya. Suara itu membangunkan lamunanku. Diam-diam aku mengikutinya di belakang dan bersama-sama membabat rumput liar yang tumbuh tinggi. Aku mencangkul tidak berhenti walau dengan hasil yang kurang berarti. “Bapak, hanya ini yang aku bisa bantu akan harapanmu terhadap ladang ini”. Suara hati itu, ya, suara itu yang tidak membiarkan diriku merasakan lelah.

Dan aku merasa sangat kerdil.


READ MORE - Merasa Kerdil