Senin, 27 Februari 2012

Kembali Bersahabat Dengan Mimpi

Entah sudah berapa hari aku berada dalam kondisi terpuruk, tidak ada hasrat untuk melakukan sesuatu apapun. Entah apa yang menyebabkan langkahku sedikit terpuruk dalam beberapa hari ini. Satu halaman facebook dari seorang kawan lama telah membukakan mata, ia seolah mengatakan bahwa dunia ini tidak mudah dan jangan meminta untuk mudah, tetapi jadilah dirimu kuat dan mintalah untuk menjadi kuat. Bisikan yang timbul dari stimulus yang diberikan oleh halaman yang kupandang, telah menjadikan aku merasa bersalah karena telah mengabaikan untaian detik yang terbuang. Aku tahu bahwa hidup harus ada sebuah proyeksi yang harus kita buat agar tidak hilang arah. Meniti hari esok dengan ikhlas adalah janjiku malam ini. Aku ingin kembali memasuki arena kehidupan.
READ MORE - Kembali Bersahabat Dengan Mimpi

Kamis, 23 Februari 2012

Andai Pesantren Tersentuh Generasi Berencana

Telah kita ketahui dan kita akui bahwasanya peran pesantren selalu mengiringi perjuangan bangsa Indonesia baik pada masa pra-kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Lembaga pesantren yang merupakan lembaga pendidikan khas indonesia juga telah mewarnai ke-Indonesiaan dalam berbagai kehidupan bangsa.

Terlepas dari tipologi jenis pesantren, seluruh pesantren berkomitmen untuk melaksanakan pendidikan bagi para santrinya terutama dalam pendidikan keagamaan dan moral. Berbeda dengan sekolah formal, pesantren adalah lembaga yang bersifat kharismatis dimana peran serta pengaruh tersentral pada kyai. Pengaruh kharismatis ini menjadikan setiap sesuatu yang disampaikan atau diajarkan oleh seorang kyai lebih mengakar dan ditaati oleh para santrinya.

Banyak figur kyai, selain berpengaruh di internal lembaganya (pesantren) juga mempunyai peran ganda sebagai tokoh masyarakat dan tokoh adat. Hal itu menunjukan besarnya peran dan pengaruh kyai dalam dinamika kehidupan masyarakat.
Program pembangunan Generasi Berencana yang diusung oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentu dalam realisasinya tidak lepas dari orientasi sasaran utama (para remaja) dan sasaran pendukung (tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, media massa dan lembaga-lembaga terkait). 

Lembaga pesantren yang populasinya menembus angka 14.000 lebih, hampir tidak tersentuh dalam program ini. Padahal peningkatan tingkat pendidikan remaja –termasuk santri− mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi dan segala pengetahuan untuk mewujudkan keluarga berencana, kecil, dan sejahtera merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan sumber daya manusia. Peningkatan pendidikan akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan kualitas penduduk. Oleh karena itu usaha menaikkan tingkat pengetahuan remaja harus dilaksanakan secara menyeluruh −bukan hanya milik sekolah formal tapi juga lembaga semisal pesantren− dan berkesinambungan untuk mendapatkan sumber daya manusia yang terampil dan tanggap dalam menghadapi tantangan di masa depan.

Pada dasarnya pesantren memiliki komitmen moral untuk mewujudakan keluarga yang bahagia, namun tidak jarang kalangan pesantren juga masih memegang dogma seperti “banyak anak banyak rejeki”. Selain itu kontroversi tentang penggunaan KB masih bergulir di kalangan umat Islam terutama Islam dengan tipe salafyah. Hal itu seharusnya menjadikan konsentrasi tersendiri bagi pemerintah untuk memberikan penerangan bukan hanya dengan dalil keagamaan tetapi juga diikuti oleh dalil sosial. Lembaga pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, adalah lembaga strategis untuk dijadikan kawan bukan sebaliknya.

Dalam segi pergaulan remaja, santri relatif bersih dari pergaulan negatif seperti sex bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, sex pra nikah, dan pergaulan negatif lainya yang merugikan bagi kestabilan masa remaja dan masa depan keluarga. Tetapi di lain pihak, santri relatif tidak tersentuh oleh pengetahuan teknis mengenai kesehatan reproduksi, pengetahuan tentang penyakit kelamin, kesehatan siklus melahirkan, dan lain sebagainya.

Ada banyak keuntungan kalau saja pemerintah mau melibatkan pesantren sebagai partner dalam peningkatan pengetahuan remaja melalui program Generasi Berencana. Selain fokus utama adalah remajanya itu sendiri (santri) pemerintah juga telah menyentuh sasaran sekunder yaitu lembaga pesantren itu sendiri yang fungsinya sebanding atau mungkin lebih dari Bina Keluarga Remaja (BKR). Selain itu, pendidikan di pesantren lebih mengakar dibanding dengan pendidikan formal karen sifat pesantren yang kharismatis. Pengetahuan yang di dapat oleh santri ini nantinya akan menjadi efek domino yaang lebih besar ketika mereka telah  pulang dan menjadi elemen masyarakat di mana mereka bisa menyalurkan pengetahuannya tersebut terhadap masyarakat.

Mohamad Romdoni
Program Director
Kelompok Usaha Seuweu Putu
READ MORE - Andai Pesantren Tersentuh Generasi Berencana

Senin, 20 Februari 2012

Esok Telah Berlalu

Sore ini saya berjalan menyusuri jalanan menuju tempat tinggalku, aku berjalan bukan karena tidak adanya recehan di saku. Aku hanya ingin mengenang masa kecil hingga masa SMU-ku yang selalu berjalan menyusuri jalanan ini, (perlu diketahui, seseorang harus membayar Rp. 3000 untuk jarak tempuh ojeg yang kurang dari satu kilometer).

 Sepanjang perjalanan aku tak henti berpikir, perubahan fisik di daerah ini dari tahun ke tahun tak henti membangun, selalu ada perusaan besar yang mendirikan bangunan baik berfungsi sebagai gudang atau pun produksi dibangun di sepanjang jalanan ini. letak geografisnya yang strategis yang berada tepat di gerbang tol Cileunyi, menjadikan jalan kampung Panyawungan sebagai lokasi sentral industri. Bahkan kini telah dibangun industri pembuatan pupuk organik dan pembuatan spare part karet motor di tengah perkampungan padat penduduk.

Aku melihat banyak orang lalu-lalang dengan penuh semangat saat pergantiaan shift kerja di salah satu perusahaan textile yang ada di situ. aku begitu iri melihat semangat mereka, aku tahu sebagian dari mereka mewakili rejeki bagi keluarga mereka. Aku melihat semangat jihad di wajah mereka.

 Kini aku mulai berjalan memasuki gang tempat rumahku berada. Bagi anda yang pertama kali mengunjungi daerah saya, akan terkaget-kaget. Bagaimana tidak, sepanjang jalanan menuju perkampungan yang gersang dan berdebu, tiba-tiba masuk ke daerah yang masih rindang, sejuk, terdapat kolam-kolam ikan, dan santri-santriyah yang sedang membantu bagian dari pekerjaan pengajar-pengajar mereka. Ya, rumahku terletak di blok pesantren, bahkan secara genesis saya masih termasuk kerabat dekat pesantren.

 Lingkungannya yang masih sejuk ternyata, menjadikan lingkungan pesantren ini relatif tenang. Para pemuda keluarga pesantren terlihat sedang menikmati segelas kopi yang dinikmati bersama. Tenang sekali mereka (pikirku). Hampir seluruh warga di ligkungan pesantren, ada di tempat sepanjang harinya. Tidak ada aktivitas berarti selain dari pengajian, sisa waktunya hanya dipakai ngobrol, ngurek, mancing, dan kerjaan kurang bernilai lainnya. Aku tak melihat semangat jihad dari wajah mereka.

Ternyata lingkungannya yang tenang dihuni pula oleh mereka para pemalas, keluhungan wibawa para leluhurnya telah mewariskan kemalasan dan ke-ekslusiv-an warga pesantren. Di lingkungan pesantren ini, ada sentimentil tersendiri bagi orang yang bekerja di pabrik, terlebih jika perempuan yang bekerja. Di lingkungan ini juga mengakar kuat doktrin anti sekolah formal, entah kapan doktrin itu mulai bergulir dan mulai mengakar, padahal pendiri ponpes Panyawungan adalah pribadi yang ulet dalam usaha dan tidak anti pendidikan, ini terbukti dari dua anak beliau yang disekolahkan di sekolah Belanda dan fasih berbahasa Belanda.

Warga pesantren terlihat takut dengan proses keduniawian, namun sangat tergila-gila dengan hasil dunia. Tidak jarang konflik terjadi akibat hal-hal materi yang tidak seberapa. Pesantren Panyawungan yang mengaku sebagai pesantren bercorak salafy kini mulai bias dalam menafsirkan kata tersebut, pesantren ini cenderung tertutup pada hal-hal baru dan metode-metode baru yang bermuatan positif untuk kelembagaan, padahal dengan tidak disadari perguliran zaman yang bermuatan negatif  telah merangsek menggumuli pedoman mereka.

Terlintas penyesalan, kenapa aku tidak bisa sedikit memperlihatkan jika pendidikan itu penting, aku sebagai salah seorang yang mengecap pendidikan formal masih saja menjadi beban orang tua, tidak beda seperti mereka. Aku berpikir, mungkin keberadaanku ini akan semakin membuat orang di lingkunganku semakin anti pendidikan formal. Berat sekali pintu rumah ini untuk kubuka  (Hei adik-adiku yang sedang menahan lapar, aku sudah berusaha).

READ MORE - Esok Telah Berlalu

Senin, 13 Februari 2012

PERMASALAHAN KEMASYARAKATAN DI PINGGIRAN MUARA LAPANGAN KERJA


Jika anda pernah berkunjung atau hanya sekedar  lewat ke Jalan Panyawungan yang  tepat di samping bundaran tol Cileunyi, anda akan menyusuri jalanan berlubang (untuk tidak menyatakan sungai tanpa air) yang di kiri-kanannya adalah industri-industri dan gudang-gudang distribusi perusahaan mapan nasional maupun perusahaan multinasional. 

Pada jam-jam tertentu, jalanan ini seperti menjadi aliran manusia yang hilir mudik untuk masuk kerja.  Para pekerja perempuan mendominasi gerbang industri-industri manufaktur, sedang para pekerja laki-laki kebanyakan bekerja di gudang-gudang distribusi dan di industri berat. Entah berapa ribu orang tenaga kerja yang terserap oleh perusahaan-perusahaan yang berda di sepanjang Jalan Panyawungan. Ya betul, perusahaan-perusahaan tersebut telah menjadi temali rejeki bagi ribuan masyarakat Indonesia.

Setelah berjalan kira-kira sejauh 900 meter, anda akan memasuki sebuah perkampungan besar yang lingkungannya masih cukup terjaga bila dibandingkan dengan perkampungan pinggiran industri di daerah lain. Disaat orang-orang berangkat membanjiri tempat kerja yang tidak jauh lokasinya, warga di sini terlihat lebih santai seperti tidak ada aktifitas yang berarti. Terlihat banyak usia produktif terutama dari para pemuda hanya memadati pos –pos ojeg yang ada di daerah tersebut. 

Berawal dari permasalahan sederhana ini, penulis ingin lebih mengetahui dinamika sosial dan permasalahan sosial yang ada di masyarakat kampung Panyawungan yang dipengaruhi oleh kehadiran industri-industri yang berdiri di lingkungan tersebut versi pandangan dan data sederhana yang didapat penulis.

Menurut asumsi penulis, Industrialisasi yang dibangun di lingkar Cileunyi-Rancaekek pada awal tahun 90-an bukan saja mempengaruhi perubahan fisik dan kemajuan ekonomi di lingkungan tersebut, namun pengaruhnya juga masuk kedalam sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat di wilayah tersebut. Di antara dinamika sosial dan perubahan pranata sosial yang penulis temukan adalah maraknya konflik horizontal di masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor yang memicunya, adapun faktor yang penulis temukan adalah seagai berikut:

  1. 1)      Kurang Terserapnya Masyarakat Lokal Sebagai Tenaga Kerja
Kurang terserapnya tenaga lokal sebagai tenaga kerja di lingkungan kerja di wilayah sendiri menjadi faktor pemicu ketidakharmonisan antara masyarakat lokal, pihak industri, dan masyarakat pendatang. Dapat dimengerti jika pihak industri enggan untuk memakai tenaga lokal, selain kurangnya motivasi kerja karena merasa sebagai orang daerah, tenaga lokal juga sering kedapatan melakukan kecurangan dan praktek-praktek licik yang merugikan pihak industri. Dari oknum-oknum pekerja lokal itulah, calon atau pekerja lokal aktif pun terkena imbasnya.

Pilihan industri untuk menggunakan orang luar daerah menjadi pemicu kecemburuan bagi masyarakat lokal. Banyaknya pekerja luar daerah, ternyata bukan hanya kesalahan dari para oknum-oknum pekerja lokal yang menjadikan stigma negatif perusahaan terhadap masyarakat lokal, ternyata banyak oknum bak dari kalangan masyarakat baik itu dari pemerintahan lokal, aparat lokal, maupun masyarakat biasa yang melakukan praktek percaloan tenaga kerja, salah satu contoh kecurangan yang ditemui adalah memasukan orang luar daerah menjadi anggota keluarga dalam kartu keluarga masyarakat lokal sehingga pendatang dengan mudah membuat identitas sebagai warga lokal. Industri yang mungkin telah menjatahkan kuota untuk orang lokal dimanfaatkan oleh calo-calo tenaga kerja.

Kurang terserapnya masyarakat lokal sebagai tenaga kerja di lingkuannya sendiri terlihat dari statistik penduduk masyarakat RW. 03 Kampung Panyawungan dan RW. 02 Kampung Kara yang memiliki beban pengangguran 62 % dari jumlah penduduk usia produktif. Kecemburuan-kecemburuan semacam itu yang memicu demo dan perusakan pada PT. STG pada tahun 1997 dan perang antar warga Kampung Panyawungan dan warga perumahan Bumi Cipacing Permai pada tahun 1998. Kedua peristiwa tersebut adalah peristiwa besar di samping peristiwa-peristiwa kecil yang terus terjadi hingga saat ini.

  1. 2)      Banyaknya Praktek Premanisme
Praktek premanisme sangat menjamur di lingkungan sub-urban seperti di lingkungan industri yang ada di Jl. Kampung Panyawungan. Praktek premanisme yang dapat saya amati seperti praktek pencaloan tenaga kerja, pengelolaan limbah industri yang dipegang oleh perorangan yang memiliki pengaruh, pemungutan liar para pedagang kaki lima, pemungutan liar parkir kendaraan jemputan.

Saya bahas pengelolaan limbah industri yang menurut saya menjadi pemicu konflik yang cukup dahsyat. “Tidak ada barang yang tak jadi uang”, sepenggal kata itu mungkin yang tepat untuk mengawali pembahasan. Limbah industri, ternyata mampu mendatangkan rupiah yang sangat besar terutama limbah yang dihasilkan oleh industri tekstile, karena besarnya rupiah yang diasilkan oleh pengelolaan limbah industri ini, tidak jarang baik perorangan maupun kelompok mencoba mendapatkan hak tunjuk oleh perusahaan sebagai pengelola. Untuk mendapatkan hak tersebut, tidak jarang menimbulkan konflik yang memobilisasi massa. Contoh yang baru-baru ini terjadi adalah perebutan limbah tekstil PT. Gistex antara kelompok yang mengatasnamakan Karang Taruna RW. 03 Kampung Panyawungan dan Pondok Pesantren Bustanul Wildan Cileunyi. Konflik ini cukup memanas sehingga terjadi mobilisasi massa dari kedua belah pihak, meskipun konflik fisik tidak terjadi, namun konflik emosional dan konflik intelektual atau perang dingin terus berlangsung di antra kedua belah pihak.

Sayangnya, pihak industri lebih tertarik memberikan pengelolaan limbahnya terhadap perseorangan yang memiliki kekuatan untuk memberikan rasa aman pada industri seperti preman dan oknum aparat. Padahal jika pengelolaan tersebut diberikan kepada lembaga profesioanal yang ada dimasyarakat dan dikelola secara prfesioanl akan mampu mengurangi beban pengangguran masyarakat sekitar dan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat sekitar sehingga dapat mengurangi kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial masyarakat serta dapat menciptakan keharmonisan lingkungan.

  1. 3)      Meningkatnya Angka Perceraian dan Sistem Sosial yang Maskulin

Industri sekitar yang menyerap tenaga perempuan hampir 90 persen, dan rata-rata jam kerja selama delapan jam perhari, menjadikan wilayah tersebut sepi dari dinamika keperempuanan seperti kegiatan Posyandu dan kegiatan ibu-ibu PKK lainya. Di lingkungan tersebut hampir tidak pernah melibatkan perempuan baik kegiatan rutinan maupun kegiatan-kegiatan yang melibatkan struktur pemerintah (RT/RW) setempat. Hal ini terlihat dari tidak adanya unsur perempuan dalam struktur organisasi-organisasi kegiatan lokal seperti RT, RW, Panitia Hari Besar Islam (PHBI), Karang Taruna, dan lainnya.

Namun, di balik kurang atau tidak adanya warna perempuan dalam kehidupan pranata sosial di lingkungan masyarakat, ternyata keberadaan perempuan sangat kuat pengaruhnya di dalam rumah tangga. Kekuatan pengaruh perempuan dalam lingkup rumah tangga ini disebabkan karena di lingkungan tersebut banyak perempuan yang justru menjadi tulang punggung keluarga dan adanya pertukaran peran dalam rumah tangga. Ketimpangan dalam hal penghasilan ini menurut ketua RW. 03 Kampung Panyawungan adalah sebab dominannya perceraian warganya, tercatat selama tahun 2012 sudah ada empat pasangan yang meminta surat keterangan perceraian.

  1. 4)      Antara Jalanan Rusak dan CSR

“Jangankan CSR yang entah bagaimana prosesnya jalanan yang seharusnya menjadi fasilitas umum aja dirusak kenyamanannya oleh mereka”, mengutip curhatan salah satu aktifis dilingkungan tersebut.

Mohamad Romdoni
Program Director at Seuweu Putu
READ MORE - PERMASALAHAN KEMASYARAKATAN DI PINGGIRAN MUARA LAPANGAN KERJA