Sabtu, 03 Maret 2012

Maraknya Percaloan dan Cuci Tangan Polisi Dalam Pembuatan SIM

Hari Rabu tanggal 28 Februari kemarin, adalah kali kedua saya mendatangi Polres salah satu kabupaten di Jawa Barat. Kedatangan saya tidak lain untuk kepentingan pembuatan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Sambil duduk menunggu dibukanya aktivitas pendaftaran SIM, banyak polisi yang baru saja pulang setelah melakukan aksi razia motor. Saya mengamati, kebanyakan dari yang terkena razia adalah mereka yang tidak menggunakan knalpot standar pada motornya dan mereka yang tidak memiliki SIM.

Banyak sekali motor yang tertangkap razia, padahal setahu pengalamanku di jalanan, biasanya para pengendara cukup berdamai saja dengan Polisi. Aku melihat banyak orang yang datang dan berniat mengambil kembali kendaraannya. Para polisi berkoordinasi dengan polisi lainya melalui walki-talki yang mereka genggam masing-masing. Satu yang menarik dan aku garis bawahi kemudian adalah perintah atasan polisi melalui walki-talki kepada seorang polwan untuk meninjau harian Tribun Jabar.

Kegiatan layanan SIM telah dibuka, lansung saja saya menghampiri meja pendaftaran uji praktek. Uji teori telah lulus pada dua minggu sebelumnya. Saya lansung mengendarai mobil Grand Max, perlu diketahui mobil Grand Max memiliki kelebaran yang lebih dari jenis mobil mini lainnya. Jaraknya hanya sekitar 5 cm sisi kiri dan 5 cm sisi kanan dan mobil tersebut harus maju-belok kemudian mundur-belok dengan tidak boleh menyentuh atau keluar dari lintasan yang teramat sempit. Saya bertaruh, bagi siapa saja yang pertama kali melakukan ujian ini akan gagal. Dan ini terbukti, di ujian kedua pun saya masih gagal.

Kemudian saya berganti pada uji praktek mengendarai motor, lintasannya sedikit zig-zag dan harus melewati apitan pembatas, jika kita mengendari motor yang lebarnya seukuran Mio Soul, saya yakin tidak akan masuk dan akan membentur tiang yang menjadi apitan lintasan. Kaki saya menyentuh lintasan di apitan terakhir, dan tiada ampun, saya tidak diluluskan.
  
Saya berjalan menuju toilet, muka kesal dan kecewa saya terbaca oleh para pedagang dan teryata sekaligus calo tersebut. Mereka menghampiriku, menawari sebuah jasa untuk meloloskan pembuatan SIM. Adu tawar harga, akhinya jatuh di Rp. 350.000 / 1 SIM. Saya menyerahkan 700 rb untuk keperluan dua SIM. Jujur, sebelumnya saya mencoba menyuap polisi yang menguji praktek saya, namun ditolak.

Ketika calo itu mondar-mandir untuk mengurus SIM saya dan orang-orang lainnya yang sama-sama nembak. Saya berpikir, bahwa jika memang benar polisi tidak dapat menerima suap itu, maka tidak mungkin polisi juga meluluskan si calo. Apakah polisi enggan untuk menerima langsung dari masyarakat, tetapi mau menerima dari calo? Hem menarik. Dari tangan calo-calo ini lah kemungkinan polisi berbagi uang pelancar pembuatan SIM dan dengan komando uang tersentral di satu tempat.

Pada hari senin tanggal 27 Februari atau sehari sebelumnya saya mengantar seorang teman untuk mebuat SIM di Polres yang berbeda. Berbeda dengan Polres asal kabupaten saya, di Polres ini Tes praktek relatif lebih mudah jka dilihat dari lintasannya, namun di ujian teori, tidak jarang semua kontestan tidak lulus.

Hal itu menunjukan bahwa di setiap Polres berbeda tahap pengujian dalam pembuatan SIM. Namun sulitnya uji praktek seperti yang saya temui di Polres kabupaten saya adalah alasan mengapa masyarakat enggan membuat SIM secara prosedural. Dalam hal uji praktek, orang yang lulus dalam satu kali uji, belum tentu lulus lagi ketika mencoba lagi. Tesnya mirip sekali dengan perlombaan berjalan di sebatang bambu di atas kolam pada perayaan Agustus-an. Dengan kata lain, orang yang pandai berjalan pun akan jatuh tercebur.

Kesulitan yang tidak masuk akal dalam proses pembuatan SIM menjadikan masyarakat enggan membuat SIM secara prosedural, dan ternyata keadaan ini juga yang diinginkan oleh para polisi dan calo. Keadaan ini mungkin saja menyebabkan polisi terlalu gampang memberikan SIM, karena dengan banyaknya praktek calo memungkinkan si pemohon tidak melalui tahap ujian. Dan saya menyaksikannya di hari yang sama ketika banyak pendaptar yang kolektif yang tidak melalui tahapan tes.

Saya memasuki ruangan foto, dan polisi yang bertugas memotret saya adalah polisi yang menguji praktek saya tadi. Tidak tampak di wajahnya sebuah keganjilan, ini menunjukan sebuah kebiasaan. Saya nyinyir. Kemudian pulang dan penasaran untuk membeli Tribun Jabar. Di halaman muka terlihat gambar polisi yang sedang melakukan nego dengan pengendara yang sedang hangat dibicarakan warga Bandung dan warga dunia maya. Hem...Saya mengerti.

0 komentar:

Posting Komentar