Selasa, 20 Maret 2012

Menaiki Ring Ibu Kota

Kita sering mendengar ungkapan “ibu kota lebih kejam dari ibu tiri”, ya, itu adalah salah-satu ungkapan sarkastik tentang ibu kota di samping ungkapan lainnya. Tidak mengherankan ungkapan itu tercipta mengingat kerasnya kehidupan ibu kota. Banyak orang dari berbagai pelosok negeri membawa impian mereka datang ke ibu kota. Sebagian dari mereka ada yang memetik hasil, namun banyak juga dari mereka terpuruk di kerrasnya kehidupan ibu kota.

Jakarta juga kota yang paling mensyaratkan identitas. Jika anda keluar tanpa identitas yang jelas, jangan heran bila ketika anda bingung mencari jalan di sebuah gang, banyak pandangan mata mencurigai anda. Ya, tidak lain karena Jakarta merupakan kota dengan angka kriminalitas di Indonesia. Jakarta juga merupakan kota dengan hukum Darwinisme; di mana yang paling kuat, maka ia yang bertahan.

Sudah hampir dua minggu saya berada di Jakarta. Dari hari pertama saya tiba saya sudah mencari pekerjaan dengan berbagai cara seperti mendatangi langsung, mengirim via email, dan mencoba minta tolong terhadap rekanan. Beberapa hari ini saya sangat giat membuka email dan mengecek seluler dan berharap ada panggilan untuk sebuah pekerjaan yang telah saya lamar.  

Akhirnya, di pagi ini panggilan itu pun datang dari salah satu recruitment firm. Nantinya saya akan ditempatkan di salah satu Bank terbesar di Indonesia, yaitu Mandiri. Saya akan menduduki posisi sales representative yang kerjaannya menjual produk Electronic Data Card (EDC). Saya sangat tertantang dengan pekerjaan ini, di mana pekerjaan ini adalah pekerjaan yang menjual produk untuk menunjang kemajuan bisnis dan gaya hidup berbelanja pada era sekarang ini.

Ya, pekerjaan ini memang murni sales. Dan ini merupakan tantangan yang mengasyikan bagi saya di tengah banyak orang yang menghindari pekerjaan seperti ini.

Betul saya adalah lulusan S1, dan betul juga adanya bahwa saya aadalah laki-laki pertama yang lulus di kelas. Karena itulah saya menyadari betul hukum kehidupan di kota besar seperti Jakarta ini.
READ MORE - Menaiki Ring Ibu Kota

Minggu, 18 Maret 2012

Nenek Dalam Ingatan

Tidak terasa kini umurku hendak menginjak usia 25. Banyak hal telah terlewati, meski belum mengukir sebuah prasasti di seperempat abad dari kehidupan ini. Malam ini, meski diriku tidak sedang bertahlil untuk mendiang neneku, tapi aku akan menceritakan mendiang beliau terhadap malaikat.

Teringat bagaimana kerasnya didikan nenek, membuat aku merasa hidup di belahan dunia yang paling liberal saat ini. Padahal ketika aku kecil dan hidup dengan nenek, hidup waktu itu penuh dengan aturan dan etika. Aturan yang paling haram untuk ditinggalkan adalah shalat lima waktu. Di tempat kedua yang haram ditinggalkan adalah mengaji yang waktunya selalu bergandengan dengan waktu shalat. Selain itu masih banyak aturan seperti membantu mengerjakan pekerjaan rumah, dan etika-etika kehidupan lainnya.

Kasih sayang nenek pada diriku mungkin lebih besar dari pada kasih sayangnya kepada cucu-cucu lainnya. Aku tinggal dengan nenek karena bapak dan ibuku bercerai ketika aku berusia lima tahun. Ibu yang saat itu mengadu nasib ke Jakarta setelah perceraiannya, dan bapak yang menikah lagi, membuat aku terlantar dan hidup dengan seorang nenek yang sudah keronta. Tapi bagi nenek, kehadiranku ternyata bukan merupakan sebuah beban baginya, ia justru ingin menjadikan cucu laki-laki dari anak laki-lakinya yang paling kurang beruntung, menjadi seseorang manusia. Keinginan itu sering terlontar ketika kita berdua hendak tidur.

Meskipun kasih sayang nenek begitu besar, tapi jika suatu kesalahan saya lakukan, kasih sayang itu akan berubah menjadi hukuman yang tidak ada amnesti. Pernah seharian saya dikurung di kamar mandi tanpa dikasih makan karena meninggalkan mengaji. Ya, nenek lebih menekankan aspek keagamaan pada diriku dari pada aspek formal lainnya seperti sekolah, tapi beliau tidak menyepelekannya.

Kasih sayang nenek yang begitu besar, lebih terasa kini ketika beliau telah tiada dan aku beranjak besar dan telah mampu menafsirkan kasih sayang secara lebih luas.

Aku diminta oleh ibuku setelah kepulangannya dari Jakarta ketika aku masuk SLTP. Pada waktu itu aku merasa senang karena dapat hidup bersama ibu, tapi aku tak pernah merasakan kesedihan nenek yang terputus harapannya akan aku. Ya, di lingkungan sekitar kampung ibu, masyarakatnya sangat amburadul, sehingga aku yang masih belia terseret masuk dalam pergaulan yang sangat buruk dan mempengaruhi kehidupanku kini.

Sering aku mendengar dari cerita uwa, bibi dan sanak saudara lain yang mengatakan bahwa  nenek sering menangis ketika mendengar para santri yang sedang menghafal atau menalar kitab Imriti (salah-satu kitab nahwu kelas menengah). Maklum ketika aku meninggalkan nenek, aku telah menghafal setengah dari kitab tersebut. Pada waktu itu juga aku sedang menjadi bahan perbincangan di antara keluargaku dalam hal kecepatan dan kemampuanku dalam hal mengaji.

Nenek meninggal ketika aku kelas dua SLTP.

Malam ini aku kembali terngiang akan amanat-amanat yang ia kemukakan akan diriku menjelang hembusan nafas terkhirnya beberapa tahun silam. Amanat-amanatnya tak lain adalah agar aku selalu berpegang pada agama dalam menjalani kehidupan dunia. Malam ini juga aku mengenang sorot matanya yang tanpa gangguan di usianya yang memasuki kepala delapan. Setengah hari dari penglihatannya ia habiskan untuk membaca al-Quran. Mulut dan hatinya tak pernah berhenti berdzikir. Iya, nenek juga selalu dalam keadaan memiliki wudhu seumur hidupnya.

Dialah yang mengenalkanku pada Allah melalui Tizan. Dialah yang mengenalkanku pada al-Quran melalui ejaan Hijaiyah. Dialah yang mengajariku tentang ibadah melalui Safinah. Dia juga lah yang mengajari aku tentang adab dan etika melalui Sunnah.

Mengenangmu seperti menemukan arah hidup di belantara tipu muslihat dunia. Maafkan aku jika tidak tumbuh seperti harapan nenek. Tenanglah di sana nenek.

Ila Hadorotin Nabiyyil Mustofa Rosulullah Sollolohu Alaihi Wassalam, Khususon Ila Ruhi Hj. Banasiyah binti H. Kholil. Alfatihah...  

READ MORE - Nenek Dalam Ingatan

In Wishy Washy Condition

Trees look strong compared with the wild reeds in the field. But when the storm comes the trees are uprooted, whereas the wild reeds, while moved back and forth by the wind, remain rooted and are standing up again when the storm has calmed down.

Flexibility is a great virtue. When we cling to our own positions and are not willing to let our hearts be moved back and forth a little by the ideas or actions of others, we may easily be broken. Being like wild reeds does not mean being wishy-washy. It means moving a little with the winds of the time while remaining solidly anchored in the ground. A humorless, intense, opinionated rigidity about current issues might cause these issues to break our spirits and make us bitter people. Let’s be flexible while being deeply rooted.
Trees look strong compared with the wild reeds in the field. But when the storm comes the trees are uprooted, whereas the wild reeds, while moved back and forth by the wind, remain rooted and are standing up again when the storm has calmed down.

Flexibility is a great virtue. When we cling to our own positions and are not willing to let our hearts be moved back and forth a little by the ideas or actions of others, we may easily be broken. Being like wild reeds does not mean being wishy-washy. It means moving a little with the winds of the time while remaining solidly anchored in the ground. A humorless, intense, opinionated rigidity about current issues might cause these issues to break our spirits and make us bitter people. Let’s be flexible while being deeply rooted.
READ MORE - In Wishy Washy Condition

Sabtu, 03 Maret 2012

Maraknya Percaloan dan Cuci Tangan Polisi Dalam Pembuatan SIM

Hari Rabu tanggal 28 Februari kemarin, adalah kali kedua saya mendatangi Polres salah satu kabupaten di Jawa Barat. Kedatangan saya tidak lain untuk kepentingan pembuatan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Sambil duduk menunggu dibukanya aktivitas pendaftaran SIM, banyak polisi yang baru saja pulang setelah melakukan aksi razia motor. Saya mengamati, kebanyakan dari yang terkena razia adalah mereka yang tidak menggunakan knalpot standar pada motornya dan mereka yang tidak memiliki SIM.

Banyak sekali motor yang tertangkap razia, padahal setahu pengalamanku di jalanan, biasanya para pengendara cukup berdamai saja dengan Polisi. Aku melihat banyak orang yang datang dan berniat mengambil kembali kendaraannya. Para polisi berkoordinasi dengan polisi lainya melalui walki-talki yang mereka genggam masing-masing. Satu yang menarik dan aku garis bawahi kemudian adalah perintah atasan polisi melalui walki-talki kepada seorang polwan untuk meninjau harian Tribun Jabar.

Kegiatan layanan SIM telah dibuka, lansung saja saya menghampiri meja pendaftaran uji praktek. Uji teori telah lulus pada dua minggu sebelumnya. Saya lansung mengendarai mobil Grand Max, perlu diketahui mobil Grand Max memiliki kelebaran yang lebih dari jenis mobil mini lainnya. Jaraknya hanya sekitar 5 cm sisi kiri dan 5 cm sisi kanan dan mobil tersebut harus maju-belok kemudian mundur-belok dengan tidak boleh menyentuh atau keluar dari lintasan yang teramat sempit. Saya bertaruh, bagi siapa saja yang pertama kali melakukan ujian ini akan gagal. Dan ini terbukti, di ujian kedua pun saya masih gagal.

Kemudian saya berganti pada uji praktek mengendarai motor, lintasannya sedikit zig-zag dan harus melewati apitan pembatas, jika kita mengendari motor yang lebarnya seukuran Mio Soul, saya yakin tidak akan masuk dan akan membentur tiang yang menjadi apitan lintasan. Kaki saya menyentuh lintasan di apitan terakhir, dan tiada ampun, saya tidak diluluskan.
  
Saya berjalan menuju toilet, muka kesal dan kecewa saya terbaca oleh para pedagang dan teryata sekaligus calo tersebut. Mereka menghampiriku, menawari sebuah jasa untuk meloloskan pembuatan SIM. Adu tawar harga, akhinya jatuh di Rp. 350.000 / 1 SIM. Saya menyerahkan 700 rb untuk keperluan dua SIM. Jujur, sebelumnya saya mencoba menyuap polisi yang menguji praktek saya, namun ditolak.

Ketika calo itu mondar-mandir untuk mengurus SIM saya dan orang-orang lainnya yang sama-sama nembak. Saya berpikir, bahwa jika memang benar polisi tidak dapat menerima suap itu, maka tidak mungkin polisi juga meluluskan si calo. Apakah polisi enggan untuk menerima langsung dari masyarakat, tetapi mau menerima dari calo? Hem menarik. Dari tangan calo-calo ini lah kemungkinan polisi berbagi uang pelancar pembuatan SIM dan dengan komando uang tersentral di satu tempat.

Pada hari senin tanggal 27 Februari atau sehari sebelumnya saya mengantar seorang teman untuk mebuat SIM di Polres yang berbeda. Berbeda dengan Polres asal kabupaten saya, di Polres ini Tes praktek relatif lebih mudah jka dilihat dari lintasannya, namun di ujian teori, tidak jarang semua kontestan tidak lulus.

Hal itu menunjukan bahwa di setiap Polres berbeda tahap pengujian dalam pembuatan SIM. Namun sulitnya uji praktek seperti yang saya temui di Polres kabupaten saya adalah alasan mengapa masyarakat enggan membuat SIM secara prosedural. Dalam hal uji praktek, orang yang lulus dalam satu kali uji, belum tentu lulus lagi ketika mencoba lagi. Tesnya mirip sekali dengan perlombaan berjalan di sebatang bambu di atas kolam pada perayaan Agustus-an. Dengan kata lain, orang yang pandai berjalan pun akan jatuh tercebur.

Kesulitan yang tidak masuk akal dalam proses pembuatan SIM menjadikan masyarakat enggan membuat SIM secara prosedural, dan ternyata keadaan ini juga yang diinginkan oleh para polisi dan calo. Keadaan ini mungkin saja menyebabkan polisi terlalu gampang memberikan SIM, karena dengan banyaknya praktek calo memungkinkan si pemohon tidak melalui tahap ujian. Dan saya menyaksikannya di hari yang sama ketika banyak pendaptar yang kolektif yang tidak melalui tahapan tes.

Saya memasuki ruangan foto, dan polisi yang bertugas memotret saya adalah polisi yang menguji praktek saya tadi. Tidak tampak di wajahnya sebuah keganjilan, ini menunjukan sebuah kebiasaan. Saya nyinyir. Kemudian pulang dan penasaran untuk membeli Tribun Jabar. Di halaman muka terlihat gambar polisi yang sedang melakukan nego dengan pengendara yang sedang hangat dibicarakan warga Bandung dan warga dunia maya. Hem...Saya mengerti.
READ MORE - Maraknya Percaloan dan Cuci Tangan Polisi Dalam Pembuatan SIM