Senin, 20 Februari 2012

Esok Telah Berlalu

Sore ini saya berjalan menyusuri jalanan menuju tempat tinggalku, aku berjalan bukan karena tidak adanya recehan di saku. Aku hanya ingin mengenang masa kecil hingga masa SMU-ku yang selalu berjalan menyusuri jalanan ini, (perlu diketahui, seseorang harus membayar Rp. 3000 untuk jarak tempuh ojeg yang kurang dari satu kilometer).

 Sepanjang perjalanan aku tak henti berpikir, perubahan fisik di daerah ini dari tahun ke tahun tak henti membangun, selalu ada perusaan besar yang mendirikan bangunan baik berfungsi sebagai gudang atau pun produksi dibangun di sepanjang jalanan ini. letak geografisnya yang strategis yang berada tepat di gerbang tol Cileunyi, menjadikan jalan kampung Panyawungan sebagai lokasi sentral industri. Bahkan kini telah dibangun industri pembuatan pupuk organik dan pembuatan spare part karet motor di tengah perkampungan padat penduduk.

Aku melihat banyak orang lalu-lalang dengan penuh semangat saat pergantiaan shift kerja di salah satu perusahaan textile yang ada di situ. aku begitu iri melihat semangat mereka, aku tahu sebagian dari mereka mewakili rejeki bagi keluarga mereka. Aku melihat semangat jihad di wajah mereka.

 Kini aku mulai berjalan memasuki gang tempat rumahku berada. Bagi anda yang pertama kali mengunjungi daerah saya, akan terkaget-kaget. Bagaimana tidak, sepanjang jalanan menuju perkampungan yang gersang dan berdebu, tiba-tiba masuk ke daerah yang masih rindang, sejuk, terdapat kolam-kolam ikan, dan santri-santriyah yang sedang membantu bagian dari pekerjaan pengajar-pengajar mereka. Ya, rumahku terletak di blok pesantren, bahkan secara genesis saya masih termasuk kerabat dekat pesantren.

 Lingkungannya yang masih sejuk ternyata, menjadikan lingkungan pesantren ini relatif tenang. Para pemuda keluarga pesantren terlihat sedang menikmati segelas kopi yang dinikmati bersama. Tenang sekali mereka (pikirku). Hampir seluruh warga di ligkungan pesantren, ada di tempat sepanjang harinya. Tidak ada aktivitas berarti selain dari pengajian, sisa waktunya hanya dipakai ngobrol, ngurek, mancing, dan kerjaan kurang bernilai lainnya. Aku tak melihat semangat jihad dari wajah mereka.

Ternyata lingkungannya yang tenang dihuni pula oleh mereka para pemalas, keluhungan wibawa para leluhurnya telah mewariskan kemalasan dan ke-ekslusiv-an warga pesantren. Di lingkungan pesantren ini, ada sentimentil tersendiri bagi orang yang bekerja di pabrik, terlebih jika perempuan yang bekerja. Di lingkungan ini juga mengakar kuat doktrin anti sekolah formal, entah kapan doktrin itu mulai bergulir dan mulai mengakar, padahal pendiri ponpes Panyawungan adalah pribadi yang ulet dalam usaha dan tidak anti pendidikan, ini terbukti dari dua anak beliau yang disekolahkan di sekolah Belanda dan fasih berbahasa Belanda.

Warga pesantren terlihat takut dengan proses keduniawian, namun sangat tergila-gila dengan hasil dunia. Tidak jarang konflik terjadi akibat hal-hal materi yang tidak seberapa. Pesantren Panyawungan yang mengaku sebagai pesantren bercorak salafy kini mulai bias dalam menafsirkan kata tersebut, pesantren ini cenderung tertutup pada hal-hal baru dan metode-metode baru yang bermuatan positif untuk kelembagaan, padahal dengan tidak disadari perguliran zaman yang bermuatan negatif  telah merangsek menggumuli pedoman mereka.

Terlintas penyesalan, kenapa aku tidak bisa sedikit memperlihatkan jika pendidikan itu penting, aku sebagai salah seorang yang mengecap pendidikan formal masih saja menjadi beban orang tua, tidak beda seperti mereka. Aku berpikir, mungkin keberadaanku ini akan semakin membuat orang di lingkunganku semakin anti pendidikan formal. Berat sekali pintu rumah ini untuk kubuka  (Hei adik-adiku yang sedang menahan lapar, aku sudah berusaha).

0 komentar:

Posting Komentar