Kamis, 23 Februari 2012

Andai Pesantren Tersentuh Generasi Berencana

Telah kita ketahui dan kita akui bahwasanya peran pesantren selalu mengiringi perjuangan bangsa Indonesia baik pada masa pra-kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Lembaga pesantren yang merupakan lembaga pendidikan khas indonesia juga telah mewarnai ke-Indonesiaan dalam berbagai kehidupan bangsa.

Terlepas dari tipologi jenis pesantren, seluruh pesantren berkomitmen untuk melaksanakan pendidikan bagi para santrinya terutama dalam pendidikan keagamaan dan moral. Berbeda dengan sekolah formal, pesantren adalah lembaga yang bersifat kharismatis dimana peran serta pengaruh tersentral pada kyai. Pengaruh kharismatis ini menjadikan setiap sesuatu yang disampaikan atau diajarkan oleh seorang kyai lebih mengakar dan ditaati oleh para santrinya.

Banyak figur kyai, selain berpengaruh di internal lembaganya (pesantren) juga mempunyai peran ganda sebagai tokoh masyarakat dan tokoh adat. Hal itu menunjukan besarnya peran dan pengaruh kyai dalam dinamika kehidupan masyarakat.
Program pembangunan Generasi Berencana yang diusung oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentu dalam realisasinya tidak lepas dari orientasi sasaran utama (para remaja) dan sasaran pendukung (tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh pemuda, media massa dan lembaga-lembaga terkait). 

Lembaga pesantren yang populasinya menembus angka 14.000 lebih, hampir tidak tersentuh dalam program ini. Padahal peningkatan tingkat pendidikan remaja –termasuk santri− mengenai pengetahuan kesehatan reproduksi dan segala pengetahuan untuk mewujudkan keluarga berencana, kecil, dan sejahtera merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan sumber daya manusia. Peningkatan pendidikan akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan kualitas penduduk. Oleh karena itu usaha menaikkan tingkat pengetahuan remaja harus dilaksanakan secara menyeluruh −bukan hanya milik sekolah formal tapi juga lembaga semisal pesantren− dan berkesinambungan untuk mendapatkan sumber daya manusia yang terampil dan tanggap dalam menghadapi tantangan di masa depan.

Pada dasarnya pesantren memiliki komitmen moral untuk mewujudakan keluarga yang bahagia, namun tidak jarang kalangan pesantren juga masih memegang dogma seperti “banyak anak banyak rejeki”. Selain itu kontroversi tentang penggunaan KB masih bergulir di kalangan umat Islam terutama Islam dengan tipe salafyah. Hal itu seharusnya menjadikan konsentrasi tersendiri bagi pemerintah untuk memberikan penerangan bukan hanya dengan dalil keagamaan tetapi juga diikuti oleh dalil sosial. Lembaga pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, adalah lembaga strategis untuk dijadikan kawan bukan sebaliknya.

Dalam segi pergaulan remaja, santri relatif bersih dari pergaulan negatif seperti sex bebas, penggunaan obat-obatan terlarang, sex pra nikah, dan pergaulan negatif lainya yang merugikan bagi kestabilan masa remaja dan masa depan keluarga. Tetapi di lain pihak, santri relatif tidak tersentuh oleh pengetahuan teknis mengenai kesehatan reproduksi, pengetahuan tentang penyakit kelamin, kesehatan siklus melahirkan, dan lain sebagainya.

Ada banyak keuntungan kalau saja pemerintah mau melibatkan pesantren sebagai partner dalam peningkatan pengetahuan remaja melalui program Generasi Berencana. Selain fokus utama adalah remajanya itu sendiri (santri) pemerintah juga telah menyentuh sasaran sekunder yaitu lembaga pesantren itu sendiri yang fungsinya sebanding atau mungkin lebih dari Bina Keluarga Remaja (BKR). Selain itu, pendidikan di pesantren lebih mengakar dibanding dengan pendidikan formal karen sifat pesantren yang kharismatis. Pengetahuan yang di dapat oleh santri ini nantinya akan menjadi efek domino yaang lebih besar ketika mereka telah  pulang dan menjadi elemen masyarakat di mana mereka bisa menyalurkan pengetahuannya tersebut terhadap masyarakat.

Mohamad Romdoni
Program Director
Kelompok Usaha Seuweu Putu

0 komentar:

Posting Komentar