Lama sekali tidak berceloteh di blog ini, entah pernah ada
yang berkunjung atau tidak, itu tak terlalu penting. Dalam beberapa bulan ini
ternyata diriku disibukan dengan berbagai pekerjaan yang sangat berjubel. Dari mulai
membangun akses dengan pemerintah, membangun akses dengan micro finance, sampai dengan perusahaan-perusahaan yang ada di
sekitar Bojonegoro. Belum lagi semuanya terbangun, kembali datang work plan bulan berikutnya yang
mengharuskan saya untuk melakukan market
assessment. Semuanya itu tidak lain adalah buah dari proposal yang sangat
sempurna untuk dapat dilirik oleh pihak donor (menurutku terlal muluk).
Dalam rentang satu tahun yang hanya tinggal sekitar tujuh
bulan waktu efektif, tim kami yang terdiri dari empat orang harus memenuhi tiga
pencapaian program. Pencapaian pertama, ialah membangun jiwa kewirausahaan
pemuda di enam desa di Kecamatan Ngasem serta mendampingi mereka dalam hal
membangun bisnis. Setelah mereka mendapatkan literasi tentang kewirausahaan,
tim kami harus memfasilitasi mereka untuk mendapatkan akses permodalan dari micro finance lokal. Pencapaian kedua,
ialah membantu memfasilitasi pemuda yang sedang dalam masa transisi dari
sekolah ke dunia kerja. Terakhir adalah membangun jiwa kepemimpinan pemuda agar
lebih peka terhadap lingkungan dan penguatan kapasitas karang taruna di desa-desa
sasaran kita.
Bisa terbayang dari target capaian tersebut di atas,
bagaimana turunan-turunan proses untuk dapat mewujudkannya. Huh…luar biasa! Saya
tidak mempunyai latar belakang sebagai ekonom, atau paling tidak mendapatkan
kuliah tentang ekonomi, perbangkan, koperasi, wirausaha, perencanaan bisnis,
alur kas, dan lain sebagainya. Saya hanya pernah mendampingi kegiatan usaha
anak muda pesantren untuk berwirausaha dan membangun kelompok usaha kelas desa
yang mendapatkan SIUP dari dinas kabupaten. Selain berkutat dengan teori,
istilah, dan konsep-konsep ekonomi; ternyata saya juga masih harus belajar
banyak tentang bagaimana penyajian data yang padat sederhana (statistik kuatitatif)
namun mumet untuk dikerjakan.
Akibat kombinasi kerja antara lapangan dan ruangan, tidak
jarang menghabiskan malam saya untuk mendeskripsikan segala yang saya dapat di siang
hari pada malam harinya. Tidak jarang dalam menyajikan temuan lapangan saya
harus bertemu pagi sebelum memejamkan mata (ha…ha… teringat seperti pada
saat-saat kebut skripsi). Seperti malam
menjelang hari pertama puasa tahun ini misalnya, saya mencicil laporan sampai hampir
lupa jika Ramadhan tiba. Oh jika saja ada yang melihat hilal di hari minggu, mungkin
kejadian menyebalkan di subuh ini tidak akan terjadi!
Karena panik saat melihat jam yang hampir menunjukan jam 4,
saya buru-buru menhidupkan teko listrik saya untuk membuat kopi. Satu hal sudah
saya kerjakan. Kemudian merogoh-rogoh saku untuk menemukan uang tunai, ternyata
saya sudah tidak mempunyai uang tunai. Dengan terburu saya loncat keluar kamar
kos dengan modal satu keping ATM. Tiba di ATM saya segera memasukan kartu saya
ke mesin tanpa melihat layar terlebih dahulu. Ketika kartu ditelan, saya baru
melihat bahwa layar mesin ATM tidak seperti biasanya. Eror. Saya tekan berbagai
tombol berusaha mengeluarkan, namun tak berhasil. Dengan kesal dan panik, saya
meluncur menuju kantor cabang bank tersebut. Dengan mimik panik saya melapor
pada satpam yang berjaga di sana dan meminta agar ATM saya dapat dikeluarkan
dari perut mesin.
“Maaf pak, kami hanya bisa memperoses itu pada hari kerja” tuturnya
dengan gaya bahasa halus, namun tidak memuaskan.
Campur aduk untuk memastikan bahwa saldo saya akan aman dan
ingatan akan teko listrik yang mungkin airnya sudah kering. “Oh….BUMN kapan kau
berubah” gerutuku dalam hati sambil melesat pergi menuju kos.
Benar saja dugaanku, air untuk membuat kopi hampir habis. Aku
sempatkan untuk menuangkan air ke adonan kopi yang telah saya buat. Saya mengeluarkan
semua kartu ATM yang ada di dompet, takut jika ATM satu bermasalah lagi, saya bisa
pindah ke lain ATM tanpa harus balik kos (jangan bertanya kenapa saya hanya
membawa kartunya saja, saya sedang mengenkan celana tidur waktu itu). Mesin ATM
paling dekat menyediakan uang dengan pecahan Rp. 100.000. Sebenarnya saya lebih
senang dengan pecahan Rp. 50.000 karena bisa dibelanjakan di warung kecil tanpa
perasaan gak enak. Benar saja dugaanku waktuku terbuang cukup banyak untuk
menunggu kembalian dari pemilik warung.
Setibanya di kos, dari salah satu mesjid memberitahu bahwa
adzan tinggal lima menit lagi. Pilihan yang sangat membingungkan ketika arus
memilih menikmati sebatang rokok dengan kopi atau nasi bungkus? Akhirnya aku
harus memutuskan salah satu. Dan ketika celotehan ini ditulis, perutku begitu
lapar dan nasi bungkus yang saya beli tadi subuh begitu menggoda. L
hidup jangan terus huru hara... tenang.
BalasHapusIya... Terima kasih bang
Hapus