Lama sekali rasanya
tidak menyapa ruang penumpahan isi pikir dan isi hati ini. Padatnya
pekerjaan lapangan maupun pekerjaan tulisan, hanya meyisakan lelah
di ruang yang tak lagi ada matahari. Ruang pikirku hanya
teraplikasikan dalam keseharian, ini akan menjadi sejarah setelah
tergantikan hari berikutnya (meski seringnya tanpa apresiasi dan
atefak).
Ya, perjalanan ini
unik, kadang merasa diri kita menjadi semakin matang dan lebih sering
menjadikan diri kita semakin kerdil. Teringat suatu hari pada saat
interview di salah satu NGO Internasional, mereka meminta saya untuk
menggambarkan diri pribadi saya, dengan sangat mudah saya mampu
menggambarkan pribadi pengkhayal dengan daya khayalnya. Namun setahun
berselang sejak saat itu, kembali saya diminta untuk menggambarkan
pribadi oleh NGO di mana saya sekarang bekerja; dan saya sangat
kesusahan.
Malam ini saya mencoba
mencari alasan kenapa bisa terjadi seperti itu. Lama tidak menemukan
jawaban, semua spekulasi hanya meningalkan ketidakpuasan.
Apakah karena dulu saya
selalu berpikir sistematis dengan pendekatan egois yang hanya melihat
dari sisi pandang dan khayal yang ada pada diri sendiri? “Tidak!
Dulu juga saya melihat aspek lain yang ada di luar saya”. Apakah
dulu saya bekerja untuk membuat rencana dan saat ini saya mengerjakan
rencana? Huh...terus mengalir pertanyaan yang memperbandingkan dulu
dan kini.
Merencanakan sesuatu
yang besar, mengubah cara pandang komunitas, menjadi aktor di
panggung sosial, adalah rutinitas sepanjang malam. Pada saat
giliranya matahari terbit, terlalu lelah untuk implementasi ide
sepanjang malam tadi. Begitulah kehidupanku di tahun-tahun lalu.
Sekembalinya dari
perantauan dan kembali ke rumah dan keluarga, kini aku enggan untuk
berbicara meski mereka meminta. Mereka berbicara peluang, menunjukan
kedigdayaan, memamerkan peran, dan hal-hal semu lainya yang dulu
sangat ingin digapai.
Di hari kedua
keberadaanku di rumah, bapakku bercerita kalau ada tuan tanah yang
mempersilahkan tanahnya untuk digarap tanpa sewa. Bapakku bercerita
sambil mengasah mulut cangkul, terlihat dari parasnya ada harapan
dari lahan yang tak seberapa luas. Adikku yang paling kecil
memamerkan ayam piaraannya yang berjumlah tidak lebih dari sepuluh
ekor, “Nanti kalo sudah besar, akan dijual untuk beli sepeda baru
dan pasta gigi manis” begitu tuturnya.
Ibuku dengan wajah yang
memerah sibuk membenahi perapian kayu bakar utnuk menanak nasi, “Jadi
agak malas masak, gasnya udah beberapa minggu regulatornya rusak”
tuturnya sedikit mengeluh.
Bapakku pamit berangkat
ke kebun garapannya. Suara itu membangunkan lamunanku. Diam-diam aku
mengikutinya di belakang dan bersama-sama membabat rumput liar yang
tumbuh tinggi. Aku mencangkul tidak berhenti walau dengan hasil yang
kurang berarti. “Bapak, hanya ini yang aku bisa bantu akan
harapanmu terhadap ladang ini”. Suara hati itu, ya, suara itu yang
tidak membiarkan diriku merasakan lelah.
Dan aku merasa sangat
kerdil.